Kekhawatiran akan amblasnya tank yang berbobot puluhan ton tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya bisa dibenarkan. Ini karena yang kita bicarakan adalah kendaraan tempur dengan roda rantai (tapak jejak/track) yang justru didesain dari awal untuk menghindari hal ini agar mampu menyokong bobot yang berat diatas segala kondisi tanah, mulai itu dari lahan keras batu cadas hingga lahan gembur persawahan dan pertanian. Dalam bidang-bidang non-militer pun kendaraan dengan metode penggerak seperti ini banyak digunakan baik itu traktor pertanian, kendaraan-kendaraan konstruksi seperti bulldozer hingga kendaraan pertambangan.
Alasannya sederhana: Fisika. Dengan membagi berat diatas penampang yang lebih luas, maka akan didapatkan tekanan rata-rata yang lebih rendah. Tak perlu jauh-jauh membahas tank, bayangkanlah diri anda sendiri yang bertelanjang kaki lalu turun ke sawah yang berlumpur dimana hanya dalam sekejap kaki anda akan tenggelam hingga ke betis. Tapi bila anda melemparkan sepotong papan triplek dengan ukuran yang cukup besar keatas permukaan sawah tersebut agar anda bisa berdiri diatasnya, maka anda tidak akan terbenam. Ini karena berat anda disebarkan oleh permukaan papan triplek yang menyentuh permukaan sawah dan tidak langsung bertumpu pada kedua kaki sebagaimana yang akan terjadi pada contoh sebelumnya.
Hal yang sama berlaku untuk kendaraan-kendaraan berat yang menggunakan roda rantai. Luas permukaan tapak jejak yang menyentuh tanah dari sebuah kendaraan beroda rantai lebih luas dibanding bila kendaraan tersebut menggunakan roda ban biasa. Dengan kata lain, penggunaan roda rantai akan membuat kendaraan tersebut mampu bergerak bebas diatas kondisi lahan yang tidak akan mampu dilalui oleh kendaraan beroda ban.
Inilah yang dikenal dengan sebutan "Ground Pressure" atau tekanan permukaan dimana benda yang memiliki tekanan permukaan yang lebih kecil tidak akan amblas diatas permukaan tanah yang sama dibanding benda yang memiliki tekanan permukaan yang lebih besar.
Perhitungan yang disederhanakan berikut ini bisa memberikan ilustrasi yang lebih jelas, dengan membandingkan MBT Leopard 2A6 yang berbobot 62.300 kg dengan salah satu mobil keluarga yang populer di Indonesia (Toyota Kijang) yang berbobot 1.650 kg. Spesifikasi keduanya adalah sebagai berikut:
Leopard 2A6
Berat total: 62,3 ton/62.300 kg
Lebar tapak jejak: 63,5 cm.
Panjang tapak jejak menyentuh tanah: 494,5 cm.
Jumlah tapak jejak: 2
Dimana disitu disebutkan bobot 55.150 kg sebagai bobotnya (versi Leopard 2 awal) sementara bobot versi 2A6 disebutkan sekitar 62,3 ton di artikel mengenai Leopard 2 di Wikipedia)
Toyota Kijang
Berat total: 1.650 kg
Lebar permukaan ban: 13,3 cm.
Panjang permukaan ban menyentuh tanah: 13.3 cm.
Jumlah ban: 4
Sedangkan panjang permukaan menyentuh tanah dari satu ban Toyota Kijang adalah asumsi rata-rata untuk menyederhanakan perhitungan yang ditujukan sebagai ilustrasi semata)
Rumus yang digunakan adalah berat total dibagi luas permukaan menyentuh tanah, dan hasilnya dalam satuan kg/cm² dan pound per square inch (psi) adalah sebagai berikut:
Leopard 2A6 : 62.300 kg / (494,5 x 63,5) x 2 = 0.992014522 kg/cm² (14,1 psi)
Toyota Kijang : 1.650 kg / (13,3 x 13,3) x 4 = 2.331957714 kg/cm² (33,2 psi)
Kesimpulannya: Diatas lahan yang sama Toyota Kijang beresiko "amblas" jauh lebih besar bila dibandingkan dengan MBT Leopard 2A6.
Selanjutnya, dalam ilmu-ilmu yang terkait dengan kekuatan tanah untuk menyokong beban, dikenal beberapa pembagian jenis-jenis tanah dan
kekuatannya yang diukur dalam satuan psf (pound per square foot). Jenis-jenis tanah tersebut dibagi-bagi mulai tanah liat lembut dengan kekuatan 2000 psf, hingga tanah berbatu-batu yang memiliki nilai lebih dari 6000 psf. Dengan mengambil contoh tanah liat lembut sebagai salah satu jenis tanah yang terlemah, nilai 2000 psf bila dikonversikan ke dalam satuan-satuan lain sesuai dengan satuan nilai-nilai ground pressure dalam dua contoh diatas menjadi:
2000 psf = 0.97648552541 kg/cm² = 13,9 psi
Disini memang nilainya lebih kecil dari ground pressure tank Leopard 2 diatas, namun perbedaan 0,2 psi (atau 0.014 kg/cm²) bukanlah nilai yang signifikan yang akan menenggelamkan tank tersebut diatas permukaan tanah berjenis demikian. Ini karena meskipun roda rantainya sampai terbenam, bila permukaan dasar lambung (hull) tank tersebut sampai menyentuh tanah, hal ini malah akan lebih menyebarkan beratnya lagi yang akan mengurangi ground pressure secara keseluruhan. Lalu dengan mesin berkekuatan tinggi yang dimilikinya, bukanlah hal yang terlalu sulit untuk bergerak keluar dari keadaan itu dengan tenaganya sendiri.
Namun biarpun demikian, bukan berarti MBT sekelas Leopard 2A6 diatas sama sekali tidak bisa terjebak dalam medan yang sulit. Adakalanya tank-tank semacam itu terperosok dan terjebak, misalnya dalam kubangan dengan kedalaman dan kemiringan yang terlampau besar buat bisa dilalui (yang tentunya juga tidak bisa dilintasi kebanyakan kendaraan-kendaraan lain - termasuk kendaraan "normal" yang lebih ringan). Tapi hal ini telah dipikirkan jauh-jauh hari sebelumnya dengan adanya kendaraan yang disebut dengan Armored Recovery Vehicle/Combat Engineering Vehicle yang biasanya selalu diikutkan dalam setiap paket pembelian MBT. Selain itu, pemetaan medan yang intensif dan strategi penempatan MBT yang digelar secara cermat juga bisa mengantisipasi kemungkinan “stuck“-nya MBT-MBT seperti ini di lapangan.
Kesimpulannya, mitos akan amblasnya MBT berbobot puluhan ton di Indonesia hanyalah sekedar mitos, atau setidaknya suatu kekhawatiran yang berlebihan tanpa dasar yang kuat yang selama ini didengung-dengungkan dan dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak.
Lalu mengenai "tuduhan" bahwa MBT seberat Leopard 2 akan merusak jalan beraspal, dan bahkan adanya anggapan bahwa MBT terlalu berat bagi jalan dan jembatan disini, bisa dibantah dengan penjelasan berikut ini:
Tahukah anda bahwa sudah sejak Perang Dunia II tapak jejak (track) tank-tank dilengkapi dengan bantalan karet (rubber pad) yang pada awalnya ditujukan untuk mengurangi kebisingan gerak maju roda rantai, tapi ternyata juga bermanfaat untuk melintas diatas jalan beraspal tanpa merusak jalan tersebut?
Tapi tak hanya itu, kekhawatiran akan bobot MBT yang akan merusak jalan-jalan di Indonesia juga sebenarnya tak beralasan. Sesuai ulasan panglima TNI di DPR baru-baru ini, sebagian besar peraturan daerah menentukan kelas jalanan sebagai kelas I dan kelas II, dimana Muatan Sumbu Terberat (MST) dari jalan kelas I diijinkan lebih dari 10 ton, dan kelas II yang dibatasi hingga maksimal 10 ton. MST dihitung dengan membagi berat kendaraan dengan jumlah sumbu roda, dan dari situ bisa diketahui jalan-jalan mana saja yang bisa dilalui oleh kendaraan tersebut.
Dalam perhitungan yang dipresentasikan di DPR, bobot Leopard 2A6 seberat 62 ton dibagi dengan 7 sumbu roda "roadwheel" yang menjejak track (yang pada gilirannya menjejak tanah) sehingga didapatkan hasil 62 ton : 7 = 8,85 ton. Jelas sudah bahwa dengan nilai MST sebesar itu tank Leopard 2 masih bisa melaju diatas jalan kelas II tanpa merusak jalan.
Lalu mengenai MBT yang "dicurigai" tidak akan bisa melalui jembatan-jembatan di Indonesia, dari presentasi yang sama juga diketahui bahwa hal ini tidak akan menjadi masalah yang berarti.
Mengambil pedoman dari Surat Edaran Dirjen Perancangan dan Persyaratan Teknis Jembatan Rangka Baja Tahun 2007, disitu disebutkan dua kategori jembatan yaitu:
a. Jembatan Kelas A, lebar 7 meter ditambah 1 meter untuk trotoar (kanan dan kiri), dan
b. Jembatan Kelas B, lebar 6 meter ditambah 0,5 meter untuk trotoar (kanan dan kiri).
Dengan panjang kedua kelas jembatan tersebut antara 40 hingga 60 meter.
Mengambil contoh jembatan kelas B dengan spesifikasi lebar 6,5 meter dengan panjang 40 meter, dengan perhitungan Beban Terbagi Rata (BTR) dalam arah memanjang maka digunakan rumus dari surat edaran tersebut sebagai berikut:
q = 8,0 (0,5 + 15/L) k Nm² dimana q adalah intensitas Beban Terbagi Rata, dan L adalah luas jembatan. Dari sini bisa didapat hasil:
a. Untuk BTR jembatan:
q = 8,0 (0,5 + 15) : (6,5 x 40) = 4,46 k Nm²
b. Untuk BTR tank (dengan rumus berat dikali gaya gravitasi dibagi luas jembatan):
q = (62 x 10) : (6,5 x 40) = 2,38 k Nm²
Dari perhitungan dalam presentasi diatas, jelas terlihat bahwa BTR sebuah MBT masih berada dibawah BTR jembatan kelas B sehingga masih sangat mungkin untuk melintasi jembatan tersebut. "Tapi kan tidak semua jembatan-jembatan di Indonesia sesuai standar kelas-kelas itu?" - Mungkin akan timbul argumen-argumen lain seperti ini yang bisa dijawab dengan:
Bila jembatan yang akan dilalui ternyata konstruksinya lemah dan/atau terlalu tua, maka MBT sama sekali tidak perlu melewati jembatan karena bisa melintasi dasar sungai tersebut atau yang dikenal dengan sebutan "fording" hingga kedalaman maksimal 1,2 meter (tanpa persiapan) hingga 4 meter (bila menggunakan snorkel).
Bila kedalaman sungainya lebih dari 4 meter akan tetapi lebarnya kurang dari 27 meter, bisa digunakan kendaraan "bridge layer" buat memasang jembatan on-site.
Bila sungainya lebih dalam dari 4 meter dan lebih lebar lagi, bisa memakai "rakit" atau jembatan ponton.
Sumber : MILITER (TNI)