G 30.S/PKI
Menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin, PKI memperoleh kedudukan strategi dalam percaturan politik di Indonesia. Kondisi ini diperoleh berkat kepiawaian Dipa Nusantara Aidit dan tokoh-tokoh PKI lainnya untuk mendekati dan mempengaruhi Presiden Soekarno. Melalui cara ini, PKI berhasil melumpuhkan lawan-lawan politiknya sehingga suatu saat PKI akan dengan mudah dapat melaksanakan cita-cita mnjadikan negara Indonesia yang berlandaskan atas paham komunis (Setiono 2003: 825).
Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan Angkatan Darat yang pimpinannya tetap dipegang para perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat semakin meningkat memasuki tahun 1965. PKI melempar desas- desus tentang danya Dewan Jendral di tubuh AD berdasarkan dokumen Gilchrist. Tuduhan itu di bantah AD dan sebaliknya, AD menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan (Poeponegoro 1984).
PKI menganggap TNI terutama Angkatan Darat merupakan penghalang utama untuk menjadikan Indonesia negara komunis.Karena itu, PKI segera merencanakan tindakan menghabisi para perwira TNI AD yang menghalangi cita-citanya.
Setelah segala persiapan di anggap selesai, pada 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Aksi ini dinamai gerakan 30 September atau G-30-S atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Gerakan ini dipimpin Letkol Untung Sutoo, selaku Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Latief 2000).
Pada 1 Oktober 1965 dinihari pasukan pemberontak menyebar ke segenap penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik enam perwira tinggi Angkatan Darat. Enam perwira Angkatan Darat korban keganasan PKI tersebut ialah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Suprapto, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Komparteman/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari upaya penculikan. Akan tetapi, puterinya, Ade Irma Suryani meninggal setelah peluru penculik menembus tubuhnya. Dalam peristiwa itu tewas pula Lettu Pierre Andreas Tendean ajudan A.H. Nasution yang dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J. Leitmena, yang rumahnya berdampingan dengan Jenderal A. H. Nasution (Latief 2000).
Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa dan membunuh para perwira TNI AD. Mayat-mayat mereka dimasukan ke dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para pemberontak kemudian menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering.
Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI dijalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi terletak di jalan merdeka selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang gerakan di 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnal Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/ Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi (Poesponegoro 1984:396-400).