Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959)
Kondisi politik Indonesia yang tidak stabil telah membuat silih bergantinya Kabinet. Kabinet juanda dibentuk setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo dua turun. Kabinet yang dipimpin oleh PM Juanda dikenal sebagai Kabinet Karya. Sebagai suatu Kabinet yang dibentuk untuk mengatasi berbagai kondisi yang kacau balau yang dihadapi oleh negara Indonesia, personal dalam Kabinet karya dipilih berdasarkan keahlian dalam bidangnya (Fernandes 1998: 99).
Kabinet ini memiliki program-program yang cukup bagus dalam membangun bangsa Indonesia, tetapi karena kondisi bangsa Indonesia yang saat ini benar-benar kacau. Walaupun baik dari segi politik maupun ekonomi telah membuat program dari Kabinet ini kurang berhasil. Meskipun menghadapi berbagai kemelut dan tantangan yang berat baik dari dalam maupun dari luar Kabinet ini bisa tetap bertahan paling lama bila dibandingkan dengan Kabinet sebelumnya karena sebelumnya Juanda sebagai seorang Perdana Menteri (PM) yang memimpin kabinet ini adalah seorang yang non partai, jujur, dan cukup berdedikasi, serta memiliki ide-ide yang cemerlang dalam menghadapi setiap hambatan disamping itu Kabinetnya terdiri atas menteri yang cakap dalam bidangnya masing-masing (Fernandes 1998: 100)
a. Program Kerja Kabinet Djuanda dan Pelaksanaannya
Setalah dilantik 9 April 1957, Kabinet Djuanda yang disebut dengan Zaken Kabinet dengan Perdana Menteri (PM) Ir. Djuanda. Kabinet ini mempunyai tugas yang berat terutama untuk menghadapi pergolakan daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat, dan menghadapi keadaan ekonomi serta keadaan keuangan yang buruk. Untuk mengatasi hal tersebut Kabinet Djuanda menyusun program 5 pasal yang disebut Panca Karya. Karena itu Kabinet Djuanda disebut Kabinet Karya. Program-programnya yang juga disusun oleh Presiden Soekarno:
1) Membentuk Dewan Nasional.
2) Normalisasi keadaan Republik.
3) Melancarkan pelaksanaan membatalkan KMB.
4) Perjuangan Irian Barat.
5) Mempergiat pembangunan (Fernandes 1998).
Program pertama yang dilakukan adalah dengan pembentukan Dewan Nasional yang menandai bermulanya Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan program yang kedua yaitu normalisasi keadaan Republik Indonesia dengan menyelesaikan antar pusat dan daerah. Keadaan negara menjadi kacau balau apalagi adanya peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang disusuli pula dengan adanya gerakan-gerakan yang bersifat anarki dan diseluruh Indonesia terjadi demostrasi dan pengambilalihan milik Belanda.
Hal ini menjadikan ekonomi sangat terganggu, ditambah dengan dibawanya masalah Irian Barat dalam forum PBB sebagai konsekuensi pelaksanaan program Kabinet. Dan untuk menjamin terlaksananya program pembebasan Irian Barat pada 10 Februari 1958 Pemerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Namun hingga berakhirnya Kabinet Karya, perjuangan membebaskan Irian Barat belum berhasil (Poesponegoro 1984).
Kekacauan bertambah parah tatkala beberapa tokoh perwira AD dan para cendekiawan membentuk Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia dengan mengultimatum Kabinet karya. Kemudian gerakan ini memunculkan berdirinya PRRI di Bukit Tinggi dibawah pimpinan Syafrudin Prawiranegara yang bergabung dengan Permesta untuk melawan Pemerintah.
Kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan dari SEATO yang merupakan tangan kanannya AS. Dukungan AS terhadap PRRI-Permesta membuat gambaran rakyat Indonesia memberikan opini yang negatif terhadap Adikuasa tersebut (Poesponegoro 1984:279-281).
Pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI-Permesta dapat dipadamkan oleh TNI dan merupakan prestasi yang membanggakan bagi Kabinet Karya dalam melaksanakan tugasnya. Keberhasilan Kabinet Karya yang lain adalah dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Kendala yang dihadapi oleh Kabinet Djuanda kebanyakan disebabkan oleh masalah pendanaan dimana pos-pos pengeluaran terbesar ada pada: (1) Biaya menumpas pemberontakan PPRI-Permesta, (2) Pendapatan berkurang karena barter dan penyelundupan, (3) Defisit negara yang besar sehingga mengakibatkan inflasi, (4) Disiplin ekonomi masyarakat memang masih kurang (Kansil 1984: 187).
b. Berakhirnya Kabinet Juanda
Sesudah pemimpin pusat terlepas dari krisis perpecahan negara dan bangsa, rakyat Indonesia mengalami lagi masa-masa yang menentukan mati hidupnya negara kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi PM Juanda dan Kabinetnya menghadapi pertentangan politik dan ideologi. Kali ini dalam konstituante. Pertentangan ini merambat masuk kedalam masyarakat dan menambah ketegangan-ketegangan .
Wakil-wakil rakyat yang telah bersidang sejak 10 November 1956 sampai Januari 1959, mengalami masalah yang sulit yaitu terutama dalam hal yang sangat prinsip yaitu ideologi negara.Dua setengah tahun lamanya perdebatan sengit berlangsung dalam konstituante, pers, dan mayarakat tentang hal ini. Kemudian Presiden Soekarno muncul dengan konsepsinya disusul dengan gagasan Demokrasi Terpimpin.Tapi masih timbul masalah cara apa yang akan ditempuh untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kontituantepun menghadapi jalan buntu karena soal dasar negara tidak dapat dipecahkan. Dan sesuai pasal 134 UUD sementara tugas pembentukan UUD baru dibebankan pada Konstituante bersama-sama Pemerintah.Karena Kontituante tidak berhasil membuat UUD1945, hal ini disetujui berbagai kalangan. Bahkan, Angkatan bersenjatapun menyetujuinya (Poeponegoro 1984:281-283).
Presiden telah mengemukakan konsepsinya diikuti oleh demokrasi terpimpin. Konsepsi Pemerintah terdapat dalam Keterangan Pemerintah tentang program Kabinet Karya yang dikemukakan PM Djuanda di depan DPR pada tangal 17 Mei 1957 berjudul Rintisan Normalisasi Keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua konsepsi ini berjiwa dan bersemangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan mempelajari bahan-bahan ini secara mendalam, PM Djuanda tiba pada konklusi bahwa pelaksanaan Demokrasi Terpimpin harus dilaksanakan dalam rangka kembali ke UUD 1945. Ide ini disetujui oleh presiden dan diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 (Rauf 2001: 123).
Untuk merealisasi gagasan tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Dengan diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka bangsa Indonsia kembali ke UUD 1945, sedangkan UUDS tidak berlaku lagi. Perubahan dalam hal UUD dan adanya penerapan sistem Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 memberikan pengaruh dan perubahan yang besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem parlementer yang selama ini dipakai oleh bangsa Indonesia diganti dengan sistem presidensil. Secara otomatis dengan adanya perubahan sistem ini maka presiden akan berperan sebagai kepala Pemerintahan disamping sebagai kepala negara, sehingga Perdana Menteri tidak perlu ada lagi. Maka, Senin tanggal 6 Juli 1959 sehari setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Juanda dan Kabinet Karya mengembalikan mandat kepada Presiden. Dengan begitu maka berakhirlah masa Kabinet Djuanda (Rauf 2001:124-126).
Suatu periode yang berat telah dilewatinya. Sekalipun program kerjanya belum seratus persen berhasil tetapi Kabinet ini telah cukup berjasa dalam membangun bangsa ini. Hasil kerjanya contohnya: telah diselesaikan UU Keadaan Bahaya menggantikan SOB, UU wajib militer, Veteran Pejuang Republik Indonesia (VPRI), UU Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan Pampasan Perang dengan Jepang, UU Penanaman Modal Asing, UU Pembatalan Hak Penambangan, UU Dewan Perancang Nasional, UU Pembangunan Lima Tahun, UU Perkumpulan Koperasi, UU Bank Tani dan Nelayan, dsb-nya (Kansil 1994:190).