• Latest News

    April 12, 2014

    Dibentuknya DI/TII S.M Kartosuwiryo Jawa barat


    1. Sejarah DI/ TII

    Kata Darul Islam yang sering disingkat DI berasal dari bahasa arab Dar al-Islam yang secara harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” Islam. Dengan begitu Darul Islam dapat diartikan sebagai dunia atau wilayah Islam. Dimana keyakinan Islam dan peraturan-peraturan berdasarkan syariat Islam merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Dimana lawan dari Darul Islam itu sendiri adalah Darul Harb yang berarti wilayah perang, atau dunia kaum kafir, yang berangsur-angsur ingin dimasukan ke dalam Darul Islam.

    Di Indonesia sendiri kata Darul Islam digunakan untuk gerakan-gerakan sesudah tahun 1945 yang berusaha merealisasikan cita-cita mereka untuk mendirikan sebuah Negara Islam. Meski sebenarnya pada awalnya sempat beredar kabar, bahwa sebenarnya DI itu adalah singkatan dari Daerah I, dan artinya tidak dipahami secara umum. Menurut Alers, kata itu seakan-akan “Negara kesatuan”. Namun, berbeda dengan Alers, Pinardi mengemukakan bahwa latar belakangnya adalah suatu pembedaan terhadap daerah dalam negara Islam. “Daerah I” adalah daerah pusat negara, yang sepenuhnya dikuasai Oleh suatu pemerintahan Islam dan diatur sesuai dengan hukum Islam. “Daerah II” terdiri dari daerah-daerah di Jawa Barat yang hanya sebagian saja dikuasai oleh Negara Islam, sedangkan dalam “Daerah III” untuk daerah yang belum dikuasai oleh Negara Islam.

    Darul Islam telah dicatat dalam sejarah sebagai sebuah gerakan pemberontakan yang berusaha mendirikan Negara Islam, sementara saat itu Indonesia telah berdiri dan merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945.

    2. Tokoh dibalik Darul Islam

    Dibalik kemunculan dari Darul Islam itu sendiri sebenarnya ada dua tokoh yang tercatat berperan dalam membentuk gerakan ini. Tokoh pertama adalah Kiai Jusuf Tauziri, ia sebutkan sebagai pendiri gerakan Darul Islam pada tahap pertama, sebagai gerakan Islam yang damai. Yang kemudian ia menarik dukungannya dari Kartosuwirjo dikarenakan memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia.

    Namun, tokoh yang benar-benar identik dengan gerakan Darul Islam ini adalah Kartosuwirjo, sosok yang bernama lengkap Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo ini adalah keturunan Jawa. Meski hampir seluruh karirnya banyak terjadi di Jawa Barat. Ia bukanlah pribumi Jawa Barat. Ia lahir di Cepu ( Jawa Tengah), antara Blora dan Bojonegoro, di perbatasan dewasa ini antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada 7 Februari 1905.

    Ia mendapat pendidikan Barat pada sekolah dasar dan sekolah menengah yang menggunakan bahasa Belanda. Jadi, ia bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang Bahasa Arab dan Agama Islam. Dari tahun 1923 sampai tahun 1926 ia mengikuti kursus persiapan pada Nederlands Indische Artsen School (NIAS), yaitu Sekolah Ketabiban Hindia Belanda di Surabaya. Di Kota itu kemudian ia bertemu dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang kemudian menjadi ketua PSII, serta menjadi bapak angkatnya.

    Menurut Pinardi (1965 : 48) dikatakan Kartosuwirjo berhasil memulai studinya dalam ilmu kedokteran dalam tahun 1926, tetapi setahun kemudian ia dikeluarkan dikarenakan kegiatan politik yang dilakukannya. Dari tahun 1927 sampai tahun 1929 menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Dan disebutkan dari pengalaman yang didapatkan dari pemimpin PSII inilah, terbesit niat Kartosuwirjo untuk mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan Islam.

    Tahun 1929 Kartosuwirjo pindah ke daerah Malangbong dekat Garut, bagian timur Jawa Barat, daerah asal istrinya. Ia kemudian bekerja pada PSII di daerah tersebut. Dan sewaktu berusia 26 tahun ia terpilih sebagai sekretaris jenderal PSII pada tahun 1931. Dan kemudian setelah meninggalnya Tjokroaminoto (1934), Wondoamiseno terpilih menjadi ketua PSII, dan Kartosuwirjo sebagai wakilnya pada tahun 1936.

    Kemudian pada tahun-tahun berikutnya terjadi pertentangan ditubuh PSII sendiri, berkaitan dengan kerjasama dengan pemerintah kolonial. Kartosuwirjo berada pada pihak non kooperasi, ia kemudian dianggap radikal dan dikeluarkan dari PSII.

    Namun Kartosuwirjo tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian membentuk PSII tandingan pada tanggal 24 April 1940 di Malangbong bersama Kamran, yang kemudian menjadi komandan Darul Islam. Pada saat itu Kartosuwirjo juga mendirikan pesantren di daerah Malangbong. Bernama institute Supah atau Institut Suffah. Semula institut ini dimaksudkan sebagai latihan kepemimpinan dalam bidang politik-keagamaan. Namun kemudian berubah menjadi suatu pusat latihan untuk pasukan gerilya dimasa mendatang (seperti Hizbullah dan Sabilillah) dikarenakan pada masa pendudukan Jepang, semua kegiatan partai politik dibekukan. Dimana hal ini sebenarnya merupakan bentuk penyebaran propaganda dari Kartosuwirjo untuk membentuk “Negara Islam”

    Berkaitan dengan Darul Islam Kartosuwirjo dikatakan sempat memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945, karena gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia itu sendiri sebenarnya telah dicanangkan oleh Kartosuwirjo sejak tahun 1942. Namun ia dan gerakannya kemudian kembali ke Republik, saat Indonesia diproklamirkan. Ia juga kemudian menjadi anggota pengurus besar partai Masyumi. Ia merangkap sebagai Komisaris Jawa barat, dan sekretaris I partai tersebut. Selain itu pada masa jabatan cabinet Amir Sjarifuddin tanggal 3 Juli 1947, Kartosuwirjo sempat ditawari sebagai menteri muda pertahanan kedua, yang kemudian ditolak nya.

    Pada saat agresi militer pertama Belanda, Kartosuwirjo bersama gerakan DI-nya bergerak mendukung Republik untuk menghancurkan kekuatan Belanda. Tapi kemudian saat dilakukan persetujuan perjanjian Renville, 8 Desember 1947. Pasukan TNI harus meninggalkan wilayah Jawa Barat, namun, Kartosuwirjo yang memimpin Hizbullah dan Sabilillah tidak hijrah, dan bertahan di Jawa Barat. Sehingga kemudian ia membentuk Darul Islam dan mengganti tentaranya menjadi TII (Tentara Islam Indonesia), yang bermarkas di Gunung Cepu. Pada akhirnya ini berujung pada sebuah proklamasi pembentukan Negara Islam Indonesia, dengan Kartosuwirjo sebagai Imamnya.

    3. Latar belakang munculnya Darul Islam

    Penandatanganan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri pertikaian Indonesia Belanda, ternyata telah menimbulkan dampak baru terhadap fase perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan perjanjian tersebut tidak saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga berpengaruh di bidang militer Negara RI, sebagai konsekuensi logis dari hasil kristalisasi nilai-nilai pertemuan antara pihak-pihak yang mengadakan perundingan.

    Kondisi ini dijelaskan oleh Disjarahad (1982 : 96) bahwa di dalam bidang politik pemerintahan RI dapat kita lihat dengan jelas. Daerah RI sesuai dengan keputusan Linggajati hanya meliputi pulau Jawa, Sumatra dan Madura semakin dipersempit, lebih-lebih lagi beberapa kota besar dari ketiga pulau tersebut di atas diduduki Belanda.

    Sedangkan dalam bidang militer, pasukan-pasukan RI harus mundur dari kantong-kantong perjuangan menuju wilayah yang masih dikuasai republic. Hal ini senada dengan pernyataan Kahin (1995 : 78) bahwa pasukan-pasukan terbaik republik harus meninggalkan banyak kantong gerilya yang mereka duduki di balik garis Van Mook dan pindah ke wlayah yang masih dikuasi oleh republik.

    Menurut perjanjian Renville, daerah Jawa Barat dalam hal ini adalah daerah yang terletak di luar wilayah RI. Hijrahnya pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai RI, telah menimbulkan adanya suatu kekosongan pemerintahan RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan sebuah kesempatan oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

    Sehubungan dengan hal ini, Anne Marie The (1964) menyatakan bahwa masa vacuum (kekosongan) pemerintah RI di Jawa Barat tidak disia-siakan oleh Kartosuwirjo untuk menjadikan idenya suatu kenyataan. Sedangkan Kahin menyatakan bahwa akhirnya di Jawa Barat, di daerah yang terletak di luar wilayah menurut ketentuan Perjanjian Renville ada suatu organisasi politik yang baru terbentuk tapi kuat dan juga mencita-citakan kemerekaan republic. Organisasi tersebut tidak mengakui Perjanjian Renville dan tidak mau berperang melawan Belanda, dikenal dengan nama Darul Islam.

    Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo ini memang merupakan suatu gerakan yang menggunakan motif-motif ideologi agama sebagai dasar penggeraknya, yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia. Adapun daerah atau tempat Gerakan DI/TII yang pertama dimulai di daerah pegunungan di Jawa Barat, yang membentang sekitar Bandung dan meluas sampai ke sebelah timur perbatasan Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke bagian-bagian lain di Indonesia.

    Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar Negara sebenarnya telah ada sebelum proklamasi Negara Islam Indonesia itu sendiri. Namun adanya musuh bersama, dalam hal ini Belanda, mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis tersebut. Van Dijk (1995) menyatakan bahwa melucuti kesatuan-kesatuan Jepang yang mundur, menentang campur tangan Inggris dan menentang kembalinya Belanda meminta perhatian setiap orang sepenuhnya dan untuk sementara menggeser perbedaan-perbedaan ideologis ke latar belakang.

    Kristalisasi dari gerakan ini semakin nyata setelah ditanda tanganinya Perjanjian Renville. Adapun upaya-upaya yang dilakukan SM. Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam, pertama-tama adalah dengan mengadakan Konferensi di Cisayong Tasikmalaya Selatan tanggal 10-11 Februari 1948. Keputusan yang diambil adalah merubah system ideologi Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam sebagai ideologi Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho tanggal 1 Mei 1948, dimana hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegaraan Islam, yaitu dibentuknya suatu Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM. Kartosuwirjo. Selain itu disusun semacam UUD yang disebut Kanun Azazi, yang menyatakan pembentukan Negara Islam Indonesia dengan hukum tertinggi Al-Quran dan Hadist.

    Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer II tanggal 18 Desember 1948, tampaknya semakin mempercepat kea rah pembentukan Negara Islam Indonesia, dimana Agresi Militer Belanda II tersebut telah berhasil merebut ibukota RI Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres beserta sejumlah Menteri. Momentum inilah yang kemudian dianggap sebagai kehancuran RI, dan kesempatan tersebut digunakan untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan tanggal 7 Agustus 1949. Peristiwa tersebut merupakan titik kulminasi subversi dalam negeri pada masa itu.

    Satu hal yang menarik dari gerakan ini dibandingkan dengan gerakan separatisme lainnya, adalah perkembangannya yang cukup lama di atas wilayah yang cukup luas. Keuletan ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan DI/TII, yang kemudian mendorong sebagian rakyat untuk ikut mendukung gerakan itu, yang akhirnya memberi kekuatan dan keuletan pada Gerakan DI/TII selama hampir 13 tahun.

    Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan in ternyata hanya menimbulkan penderitaan dan penindasan terhadap rakyat. Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada rakyat seringkali menjadi sumber penderitaan dari kekejian yang semena-mena. Kahin (1995) dalam hal ini menyatakan bahwa kerja sama perani dengan Darul Islam makin lama makin disebabkan oleh terror yang dilakukan Darul Islam dan petani tidak mendukung organisasi tersebut karena nasonalisme dan agama. Namun rakyat kota relative lebh reada. Lebih buruk keadaannya di pedalaman, tempat desa-desa diserbu, dalam beberapa daerah sangat sering barang-barang dan hasil panen dirampas, dan rumah, jembatan, mesjid dan lumbung padi dibakar atau dimusnahkan.

    Tidak sedikit penderitaan yang ditanggung rakyat Jawa Barat khususnya, karena gerakan ini melakukan terror terhadap mereka. Untuk kepentingan gerakannya mereka merampok rakyat yang tinggal dipelosok-pelosok terpencil di lereng gunung, sehingga sulit membedakan gerakan DI dari tindak perampokan, pemerasan, dan terorisme dalam ukuran luas. (Ricklef, 1995 : 48)

    Kondisi yang demikian mau tidak mau menjadi suatu masalah yang serius dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kekacauan-kekacauan politik yang terjadi pada masa itu, ternyata telah menimbulkan dampak yang luas dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lain seperti sosial, budaya, dan ekonomi. (Ismaun, 1997 : 45)

    Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah pemberontakan daerah, sampai akhirnya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4 Juni 1962 dalam sebuah operasi yang bernama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. Kartosuwirjo, maka berakhirlah pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih dari 10 tahun. Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan, katena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara. 
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments
    Item Reviewed: Dibentuknya DI/TII S.M Kartosuwiryo Jawa barat Rating: 5 Reviewed By: BS
    Scroll to Top