Dalam UU no.10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif dan UU no.2 tahun 2008 tentang partai politik ( parpol ) bahwasanya kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 %, terutama untuk duduk di parlemen.
Bahkan dalam pasal 8 butir di UU no.10 tahun 2008, disebutkan adanya pernyataan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu, dan pasal 53 UU menyatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat sedikitnya 30% keterwakilan perempuan.
Dalam hal kuota tersebut, sebagian perempuan memang merasa bahwa mereka juga sudah di beri kesempatan untuk berpolitik, tapi sebagian perempuan pada umumnya selalu bertanya- tanya, mengapa harus ada persentase yang dijadikan eksistensi perempuan?, yang berarti ini termasuk ketimpangan dan juga ketidakadilan perempuan dalam porsi dipilih dan memilih. Hak mereka didiskriminasi, seperti di bedakan dan pasti ujung-ujungnya subordinasi yang terjadi, yaitu sebuah posisi atau peran yang merendahkan nilai peran yang lain yang menomorduakan perempuan untuk turut andil dalam politik.
Perempuan umumnya hanya dianggap sebagai pelengkap, sehingga kehadirannya sama sekali tidak di perhitungkan.
Dalam menyikapi problematika ini, muncul pengembangan pemikiran bahwasanya partisipasi perempuan yang hanya 30 persen saja tidak pernah terpenuhi, lantas mengapa mesti menuntut untuk mau di sejajarkan, dan tak mau dipersen-persenkan? Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan perempuan yang di sebabkan beberapa faktor, yaitu tata nilai sosial dan budaya yang bias gender dengan dominasi maskulin dalam kehidupan masyarakat, peraturan dan sistem hukum yang banyak bias gender dengan mengutamakan laki-laki dibanding perempuan, adanya kebijakan dan program pembangunan yang cenderung mengutamakan partisipasi laki-laki dari pada perempuan, serta akses-akses yang tidak ada sisi regulasinya dalam implementasinya sehingga hal inilah yang selalu menjadi suatu permasalahan.
Namun jikalau kita melihat lebih mendalam dari sisi bias gender tersebut, nampaknya peran wanita memang dimarginalkan posisinya serta dibatasi ruang geraknya. makanya kenapa sekarang banyak wanita banyak memegang peranan di pemerintahan