• Latest News

    July 12, 2014

    Bentuk Negara Yang Ideal Menurut Plato Dan Aristoteles


    Terkait dengan bentuk negara, Plato mengungkapkan terdapat lima bentuk negara yang sesuai dengan kondisi jiwa manusia. Menurut Plato, negara dan manusia memilik persamaan, maka senantiasa ada kesesuaian antara manusia dan negara, baik dalam sifat dan karakter maupun kondisi dan lain sebagainya. Sebagaimana latar belakang Plato yang sangat kritis terhadap demokratis, maka ia meletakkan bentuk negara aristokrasi sebagai negara terbaik dari empat bentuk negara lainnya, yakni timokrasi, oligarki, demokasi, dan tirani. 

    Menurut plato, pemerintahan aristokratik berada di tangan para cendekiawan yang oleh Plato dikatakan sebagai orang orang terbaik yang penuh dengan kebajikan serta keadilan. Para cendekiawan tersebut memerintah dengan dengan bijaksana, senantiasa berorientasi pada kepentingan bersama sehingga keadilan, kebajikan, dan kebaikan dapat dinikmati oleh seluruh warga negara. Bagi Plato, Aristokrasi adalah bentuk negara yang paling tepat dan sempurna bagi suatu negara ideal.

    Namun hal tersebut tidaklah abadi sebagaimana sifat dan kondisi jiwa manusia yang terus berubah. Perubahan bentuk negara dimulai ketika keutuhan dan kesatuan kelas penguasa menjadi retak dan terbagi ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan Kemungkinan terbesar penyebab keretakan tersebut adalah ketika generasi muda (anak-anak arsitokrat) mulai memasuki pemerintahan negara. Oleh karena mereka memeroleh kekuasaan dengan mudah yang diiringi dengan rendahnya kadar idealisme yang tidak sejalan dengan para pendahulunya, maka pemerintahan pun berubah tidak lagi tertuju kepada kepentingan bersama, melainkan bergeser pada kepentingan mereka sendiri. Kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk meraih kemahsyuran, kemuliaan, dan kehormatan yang sebesar-besarnya. Aristokrasipun kemudian merosot menjadi timokrasi.

    Timokrasi pun tidaklah kekal. Pendewaan terhadap kehormatan dan kemuliaan akan berakhir dan bergeser pada kekayaan. Sebab demi meraih kehormatan dia berlomba memperoleh kekayaan diantara mereka untuk menunjang kepentingannya. Pendewaan kekayaan ini membuat orang berlomba-lomba untuk menumpuk harta kekayaan sehingga kemudian terbagilah ke dalam dua golongan, yakni golongan kaya dan golongan miskin. Karena kekayaan menjadi ukuran, maka tentu saja yang kaya lebih dimuliakan daripada yang miskin ini sekalipun memiliki kebaikan dan kebijakan. Akibatnya rakyat menjadi pecinta uang (lovers of money) dan pemuja kekayaan. Terlebih lagi, mereka yang duduk di pemerintahan tidaklah lagi berdasarkan kecakapan dan keterampilan mereka, melainkan karena kekayaan. Kemerosotan timokrasi inilah yang kemudian disebut dengan oligarki, yakni negara yang dikuasai oleh golongan kaya yang terus ingin memperkaya diri (Rapar 2002, 64).

    Keadaan yang terus berlangsung sedemikian rupa dalam oligarki menyebabkan rakyat sadar bahwa keadaan mereka semakin memburuk. Penguasa tidak pernah puas memperkaya diri, maka rang-orang yang tersingkir dari persaingan menimbun harta akan melarat. Jumlah orang melarat semakin bertambah hingga akhirnya mereka mau melawan dan merebut kekuasaan, serta membunuh orang kaya. Ketika penguasa tersebut dapat ditaklukkan maka kemudian dibentuklah pemerintahan yang penguasa dan rakyatnya sedeajat, sebab pemerintah dipilih oleh rakyat dan berasal dari rakyat. Lahirlah demokrasi sebagai bentuk keempat pemerosotan negara ideal Plato. Dalam pemerintahan ini kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama. (Rapar 2001, 64).

    Ketika rakyat semakin lama semakin mengejar kebebasan, hal ini membuat setiap orang ingin mengatur dirinya sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga timbullah berbagai kekacauan, kekerasan, ketidaktertiban, bahkan anarki. Situasi chaos yang sedemikian rupa membuat rakyat merasakan perlu adanya penguasa yang kuat dan seseorang yang dapat diangkat untuk menjadi pelindung dirinya. Namun karena kewenangan yang besar ia pun semakin bertindak sewenang-wenang, rakyat tidak lagi dilindungi namun justru ditindas dan ditelan. Kemorosotan demokrasi seperti inilah yang kemudian disebut dengan tirani.

    Sedangkan Aristoteles melalui karyanya “Politika” mengklasifikasikan bentuk pemerintahan berdasarkan jumlah orang yang memerintah dan tujuan memerintah. Atas dasar tersebut Aristoteles menyebutkan terdapat tiga bentuk pemerintah baik, yang sanggup memanusiakan manusia, yakni monarki, aristokrasi, dan politeia/demokrasi konstitusional. Monarki adalah bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi dalam negara berada pada satu tangan orang dan tujuan pemerintahan adalah kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Aristokasi merupakan bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan beberapa orang dan tujuan memerintah adalah kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Sedangkan politeia meletakkan kekuasaan tertinggi pada kepentingan banyak orang dan tujuan memerintahnya adalah untuk kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum (Rapar 2001, 179).

    Bagi Aristoteles bentuk negara yang paling ideal adalah monarki yang diperintah oleh seorang filsuf raja. Oleh karena seorang filsuf raja adalah dia yang paling unggul dalam kebajikan, maka negara yang diperintah oleh seorang filsuf raja ini tidak memerlukan hukum sebab kebajikan berada di atas hukum. Namun bentuk monarki yang sedemikian ideal menurut Aristoteles sangatlah sulit dalam kenyataan karena sulitnya pula menemukan seseorang yang benar-benar paling unggul dalam kebajikan dan kearifan yang merupakan kualitas dari sang filsuf raja. Jikapun ditemukan kualitas tersebut dia patut disebut sebagai dewa di antara manusia. 

    Sehingga bagi Aristoteles bentuk yang demikian hanya memungkinkan secara teoritis. Oleh sebab itu bagi Aristoteles yang ideal belum tentu benar-benar bermanfaat bagi manusia. Apa artinya bia sesuatu itu sangat baik, indah, dan menawan hati (seperti gagasan Plato) tetapi hanya berada dalam khayalan belaka? Yang dibutukan manusia adalah yang realistis. Pemikiran inilah yang kemudian mendorongnya jatuh pada pilihan yang ketiga, yaitu bentuk politeia dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh warga negara dan pelaksanan pemerintahan oleh pemerintah berdasarkan kontitusi demi kebaikan, kepentingan, dan kesejahteraan umum. Kendati politeia bukan negara yang ideal, namun itu bentuk yang paling realistis dan sangat dianjurkan (Rapar 2001, 180).

    Selain tiga bentuk pemerintahan baik, Plato juga mengungkapkan terdapat tiga bentuk pemerintahan yang buruk sebagai penyimpangan dari yang benar, yakni tirani, oligarki, dan demokrasi ekstrem. Tirani merupakan bentuk penyimpangan dari monarki karena kekuasaan yang berada di tangan satu orang digunakan hanya untuk kepentingan sendiri. Penguasa tunggal tersebut kemudian bertindak sewenang-wenang dan tidak segan-segan menindas rakyatnya. Oligarki merupakan bentuk penyimpangan dari aristokrasi karena kekuasaan yang berada di tangaan beberapa orang kaya ini digunakan untuk kepentingan pribadi dan menambah pengaruh serta kekayaan mereka dengan memeras rakyat. Demokrasi ekstrem merupakan penyimpangan dari politeia, yakni kekuasaan yang berada di tangan banyak orang ini (terdiri dari rakyat miskin) digunakan untuk kepentingan rakyat miskin yang memegang kekuasaan itu. Ketiga bentuk negara tersebut telah gagal melaksanakan tugas negara manusia yang sangat mulia, yaitu memanusiakan manusia.

    Ref : Berbagai sumber
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments
    Item Reviewed: Bentuk Negara Yang Ideal Menurut Plato Dan Aristoteles Rating: 5 Reviewed By: BS
    Scroll to Top