Ada lembaga survei yang hasil-hasilnya memiliki tingkat akurasi tinggi, tapi ada juga yang prediksinya jauh dari kenyataan. Ada lembaga survei yang benar-benar objektif, tetapi ada juga lembaga survei profesional yang disewa partai politik atau kandidat yang objektivitasnya dipertaruhkan.
Sejak era Reformasi, hampir tak ada pemilihan umum (pemilu) yang luput dari pantauan -atau bahkan “intervensi”- lembaga survei. Dari pemilu kepala daerah tingkat kabupaten/kota hingga pemilu presiden/wakil presiden, lembaga survei senantiasa mewarnai sejak dini, mulai dari pendeteksian para bakal kandidat hingga melakukan hitung cepat (quick count) beberapa saat setelah pemilu dilangsungkan.
Sepanjang dilakukan secara benar dan objektif, lembaga survei punya peranan yang konstruktif, antara lain untuk menambah kegairahan pelaksanaan pemilu sehingga para pemilih tertarik dan mau datang ke bilik suara. Lembaga survei punya peran besar, terutama dalam memprediksi hasil pemilu. Hasil prediksi inilah yang kemudian direspons publik, terutama para pengamat hingga pelaksanaan pemilu menjadi ajang yang menarik perhatian.
Dulu, saat belum ada peran lembaga survei, sisi yang menarik perhatian publik dari pemilu hanya pelaksanaan kampanye. Menarik karena dalam kampanye biasanya disuguhkan berbagai macam hiburan, terutama musik dangdut yang populer di tengah-tengah masyarakat.
Selain hiburan, yang menarik perhatian publik adalah karnaval atau arak-arakan yang diwarnai berbagai tingkah unik para pendukung partai yang tengah berkampanye. Di luar hiburan dan karnaval, ceramah yang berisi pemaparan visi misi sama sekali tidak diperhatikan. Kampanye menjadi salah sasaran karena fokus publik tidak pada penyampaian visi misi.
Dengan keterlibatan lembaga survei, pengenalan pemilu menjadi beragam, tidak hanya melalui kampanye, tapi juga melalui pemberitaan-pemberitaan yang berisi prediksi, popularitas para kandidat -yang biasanya naik turun- dan grafik elektabilitas mereka.
Sayangnya, belakangan ini banyak bermunculan lembaga survei yang tidak objektif karena menjadi bagian dari tim sukses salah satu kontestan pemilu, entah partai politik atau para kandidat baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Lembaga survei yang menjadi tim sukses cenderung tidak objektif karena memiliki tujuan untuk memenangkan partai atau kandidat yang didukungnya.
Untuk kalangan terbatas yang peka dan paham arah kecenderungan popularitas partai dan para kandidat, tentu bisa membedakan mana hasil survei yang benar-benar objektif dan mana yang memiliki kecenderungan untuk memenangkan partai atau kandidat tertentu. Namun, bagi khalayak secara umum, bukan perkara mudah untuk membedakan antara keduanya.
Ketidakpercayaan Publik
Lembaga survei menjadi tim sukses tentu tidak dilarang. Hal ini karena biasanya lembaga survei juga menjadi bagian dari kerangka besar (grand design) dari lembaga konsultan politik yang bertujuan memenangkan partai atau kandidat tertentu.
Akan tetapi, jika hasil-hasil survei yang dilakukan secara berpihak diumumkan ke publik sebagaimana layaknya hasil survei yang dilakukan lembaga independen, tentu akan menjadi masalah.
Kenapa masalah? Pertama, akan terjadi pencampuradukkan antara hasil kerja akademis yang objektif dan independen dengan hasil kerja tim sukses yang penuh kepentingan. Meskipun metodologi keduanya sama-sama bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, tetap ada sisi lain yang membedakan secara signifikan antara keduanya, misalnya dalam pemilihan sampel, penyusunan pertanyaan, dan lain-lain.
Kedua, dapat menumbuhkan ketidakpercayaan publik pada lembaga-lembaga survei yang lain. Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga. Akibat ulah satu-dua lembaga survei yang menjadi tim sukses, kredibilitas lembaga survei umumnya menjadi ikut tercemar.
Ketiga, bisa menyebarkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat karena memang tidak mudah membedakan mana hasil survei yang benar-benar objektif dengan yang hasil rekayasa untuk memenangkan partai atau kandidat tertentu. Publik sulit membedakan mana lembaga survei yang benar-benar independen dengan yang dependen dalam arti memiliki tujuan tertentu untuk memenangkan partai atau kandidat yang didukungnya.
Karena faktor inilah, sempat muncul keinginan untuk membuat regulasi -berupa undang-undang atau yang semacamnya- yang mengatur kelembagaan, fungsi, dan peranan lembaga survei. Namun, karena banyak pihak yang menolak, regulasi ini belum terwujud.
Saya termasuk mendukung dibuatnya aturan main ini, tujuannya bukan untuk membatasi atau mengekang, apalagi melarang keberadaan lembaga survei. Namun, untuk membedakan mana lembaga survei yang objektif dengan yang tidak. Caranya, misalnya dengan diumumkan ke publik mana lembaga survei yang independen dan mana yang menjadi bagian dari tim sukses.
Kalau tidak mau diumumkan ke publik, tak ada masalah, tapi hasil-hasil survei dari lembaga suvei yang menjadi tim sukses juga hendaknya tidak diumumkan ke publik sehingga benar-benar hanya menjadi masukan untuk perbaikan kinerja partai atau kandidat yang “menyewanya”.
Dengan ketentuan ini saja, rasanya sudah cukup untuk membuat publik tidak kebingungan. Dengan demikian, lembaga survei benar-benar bisa difungsikan secara maksimal, baik sebagai tim sukses maupun lembaga independen yang ikut secara aktif menggairahkan dan mewarnai jalannya pemilu. Tanpa keterlibatan lembaga survei, pemilu bagai sayur tanpa garam.
*Penulis adalah Founder The Indonesian Institute.
(Sinar Harapan)